Jilbab Pertamaku?




Aku besar di keluarga yang memberikan pendidikan agama yang cukup baik. Sejak sekolah dasar aku bersekolah di Madrasah yang menjadi madrasah teladan di kotaku demikian pula dengan sekolah lanjutannya. Itu sebabnya aku tidak begitu asing dengan jilbab. “kondisi homogen” yang kudapatkan di rumah dan di lingkungan sekolah sangat kondusif aku rasakan untuk perkembangan usiaku yang beranjak dewasa. Jilbab menjadi bagian dari keseharianku.
Hal itu berubah ketika aku berhasil masuk ke salah satu SMU favorit di kotaku. Dengan sistem pendidikan semi militer yang berasrama, tingkat kedisiplinan yang tinggi dan aktifitas yang monoton tapi tak pernah berhenti membuat aku merasa seakan-akan berada dipenjara. Hal ini ditambah dengan kebijakan sekolah yang melarang pemakaian jilbab bagi siswi muslim dengan alasan ketidakseragaman. Ada perasaan hampa yang aku rasakan, karena terbiasa menggunakan jilbab, dan harus melepaskan jilbab dengan alasan yang sangat sepele. Meski aku tahu bahwa jilbab adalah kewajiban yang harus dijalankan oleh setiap muslimah, namun saat itu aku tak berdaya dengan sistem sekolah yang mengutamakan nilai toleransi yang tinggi di tengah heterogenitas warga sekolahnya, meskipun mayoritas warga sekolah adalah muslim. Selama setahun aku tak menutup aurat dengan sempurna. Jilbab aku kenakan hanya pada saat pulang ke rumah (di hari minggu dari jam 8 pagi – 5 sore) dan libur sekolah. Ada kerinduan yang mendalam dalam hati untuk menutup aurat secara sempurna. Ketika kerinduan itu membuncah, aku kenakan jilbab dan bercermin mematut diri meski hanya di dalam kamar asrama menjelang tidur dan kulipat rapi kembali di dalam lemari ketika pagi tiba.
Ramadhan pun tiba, separuh bulan penuh berkah itu kulalui di sekolahku. Ada perasaan gembira yang tak terkatakan ketika pihak sekolah memperbolehkan siswa muslimah mengenakan jilbab dalam bulan ramadhan, meski hanya di luar jam pelajaran sekolah. Aku merasa ini harus menjadi momen yang penting bagiku, bagi sekolah ini. Dengan dukungan dari alumni, sebelum memasuki masa liburan idul fitri aku mengajukan kepada pihak sekolah untuk meneruskan menggunakan jilbab di luar bulan ramadhan hingga aku lulus dengan mengemukakan bahwa menggunakan jilbab adalah bagian dari hak asasi ku sebagai manusia yang ingin menjalankan ibadah dengan sebaik-baiknya. Hal ini tidak hanya mengejutkan pihak sekolah dan yayasan, tetapi juga seluruh siswa yang pro dan kontra dengan ide yang aku usulkan. Aku berserah pada Allah atas keputusan yang akan diambil oleh pihak sekolah.
Sujud syukur kusembahkan pada Allah ketika kepala sekolah menyetujui hal tersebut dengan syarat jilbab tidak akan memberikan “fasilitas khusus” bagiku dalam artian aku tidak akan mendapatkan perlakuan istimewa hanya karena aku berjilbab. Aku sanggupi hal tersebut. Aku pun bersyukur karena alumni memberikan banyak dukungan moril maupun seragam. Namun, berbagai cobaan harus aku hadapi, seperti mendapat sentimen nilai dari guru dan senior, dikucilkan dan menerima kalimat-kalimat “meremehkan” dari teman-teman satu asrama. Tapi semua itu kunikmati sebagai bagian dari perjalanan hidup. Ketenangan telah dapat menjalankan syariat agama jauh lebih berharga daripada itu semua. Seiring dengan waktu, semua pihak dapat menerima keberadaanku dengan jilbab ini. Aku buktikan pada mereka dan pada dunia bahwa jilbab tidak akan menghalangiku beraktifitas dan berprestasi.
Meski telah lama ku kenal dan ku kenakan jilbab, hingga tak tahu kapan pastinya pertama kali aku berjilbab. Namun, pada saat itulah aku anggap sebagai jilbab pertamaku. 

Comments

Popular Posts